Genap sudah 1 tahun 4 bulan 5 hari sejak terakhir kali aku menulis di blog ku ini. Artinya, selama 492 hari blogku yang malang ini mati suri. Ya ampuuun….seumpama bayi, mungkin sudah bisa berdiri, jalan, atau lari? Mati suri 492 hari….am I kidding myself…bukan mati suri lagi, tapi mati dengan sukses. Kemana ya perginya hari-hariku. Bahkan saat menulis kisah ringanku berikut ini, aku masih belum bisa percaya telah menyia-nyiakan waktu selama itu tanpa menulis 1 hal pun, meski 1 paragraf. Sungguh-sungguh gak kebayang.
Well, well, cukup sudah lebaynya. Tapi, sungguh, aku menjadi sangat tergerak kembali menulis, setelah mengalami kejadian dibawah ini. Pingin Sharing. Begitu banyak kejadian biasa yang bisa berarti luar biasa bagi 1 atau 2 atau beberapa atau bahkan bagi banyak orang, siapa yang bakal tau, ya kan... Mengisahkan pengalaman sederhana ini bak meyakinkan diri sendiri bahwa di dunia yang bikin pusing ini, masih ada, kalau susah mo bilang banyak, orang-orang baik yang berbuat tanpa pamrih bahkan untuk orang yang tak dikenal.
Nah,
Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya aku berjalan pelan-pelan dari tempat kost ke kantor, menikmati pagi hari yang masih bersih. Udara yang terhirup terasa segar, campuran antara rasa embun dan rumput dan bunga-bunga di sepanjang pinggir jalan dan pot-pot di halaman rumah-rumah yang kulewati. Pagi ini sambil membawa cucian untuk diantar ke laundri kiloan dekat kantor.
Aku mampir sebentar ke warung kecil dekat kost. Untuk makan siang di kantor aku rantangan, gabung bersama beberapa teman sekantor. Rasanya lebih menyenangkan, makan bersama dengan lauk yang sama. Tapi hari ini ingin menambah menu, ingin bikin sayur bening, selingan untuk makanan serba tumis dan santan. Kebetulan di kantor tersedia kompor dan peralatan masak lengkap, jadi mudah saja jika sewaktu-waktu ada yang ingin menyalurkan bakat koki terpendamnya. Tumis dan makanan bersantan memang enak, cuma membawa efek ngantuk. Kalau sedang di kantor, tentu saja dampaknya cukup serius, abis makan pinginnya selonjor dan tidur….
Pagi ini warung kecil itu belum ramai pengunjung. Hanya aku dan seorang ibu muda. Sebentar saja aku sudah selesai, cuma mengambil bayam, jagung dan oyong. Aku mengedarkan pandangan ke seisi warung, dan terlirik olehku setumpuk kemasan plastik transparan berisi makanan siap santap..…ahaaa….ada lontong dan perlengkapannya, ada juga lupis plus cenil. Waaaahh….
Sedang berpikir-pikir dan memutuskan untuk membelinya atau tidak, tiba-tiba aku dikejutkan oleh bunyi lembut benda jatuh, ternyata jagung pilihanku tadi, jatuh dan menggelinding ke balik keranjang bulat besar berisi kelapa-kelapa siap parut. Waduuuh…..ya ampun! Aku berjongkok dan dengan susah payah mendorong sedikit keranjang yang beratnya lumayan itu. Untung hari ini pakai celana panjang. UUUpppsss….dapat. Lega.
Aku kembali berdiri dan tersenyum kearah ibu muda yang ternyata sedang dengan heran memandangiku, yang dengan dandanan rapi, menggeser-geser keranjang dan meraih jagung di kolong meja dagangan. Dia balas tersenyum dan bilang maaf. Nampaknya dia tadi yang tanpa sengaja menjatuhkan jagungku dalam proses dia memilih sayuran dengan penuh semangat. Setelah kata maaf, dia pun mulai membuka percakapan.
Sementara kami menunggu ibu warung membungkus, dia bertanya aku tinggal dimana, kuberitahu dia nama tempat kostku sekitar 10 meter dari warung tersebut. Lalu dia tanya aku kerja dimana, kuberitahu padanya kantor tempatku bekerja tak jauh dari situ. Dia lantas melirik ke arah tas dan buntelan laundri-ku. “Banyak sekali bawaan,” komentarnya. “Iya,” kataku, “mau sekalian antar baju kotor ke laundri.”
Tiba-tiba dia bilang, “nanti sama-sama saya saja kak, akan saya antar ke kantor kakak, kebetulan rumah saya sejalan.”
“Waduuh,” aku terkejut, “tidak perlu. Sungguh. Nanti merepotkan”.
“Gak lah, sama sekali tidak,” dia berkeras.
“Tak apa, sungguh,” aku masih berusaha menolak.
“Gapapa kak, sekalian saya pulang,” bujuknya
“Kalau begitu baiklah, makasih banyak ya,” aku menyerah. Apa salahnya, pikirku. Sambil menunggu dia bayar belanjaannya, aku membereskan tentenganku dan menunggunya di pinggir jalan.
Tiba-tiba, “Yuk, saya antar kakak dulu.”
Aku heran, “Lho, katanya mo sekalian pulang.”
“Gapapa kak, kelapanya masih harus diparut.”
“Gapapa, kita tunggu aja.”
“Gapapa, saya antar kakak dulu”
Setelah lama saling gapapa-gapapa-an, akhirnya aku menyerah dan naik ke motor yang sudah distarternya.
Sepanjang jalan kami mengobrol ringan, sedikit tentang pekerjaanku, tentang keluarganya. Karena memang dekat, sebentar kemudian kami tiba di kantorku. Aku turun dari motornya, menyalami tangannya sambil berterima kasih dan menanyakan namanya. “Tina,” jawabnya. “Lina,” balasku.
Sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih aku melangkah memasuki halaman kantor. Teman kantor yang sedang melap kendaraan melihat kedatangan kami dan dengan heran berkomentar, “kog dah nyampe baru kenalan….”
Yaaa…kog udah nyampe baru kenalan. Karena sambil ngobrol di sepanjang perjalanan tadi aku melamun dan berpikir tentang kejadian ini.
Entah dengan alasan merasa bersalah karena, walaupun tanpa sengaja, sudah menyebabkan jatuhnya jagungku serta jongkok dan merangkaknya aku ke kolong meja dagangan, atau memang karena keramahan pribadinya, tetap saja aku terkagum-kagum.
Keramahannya menawarkan dan memberi tumpangan kepada orang asing sangatlah menyentuh. Cara berkerasnya Tina menawarkan tumpangan padaku sungguh menghangatkan hati jika mengingatnya. Dia tidak ada kewajiban untuk membujukku agar mau diantar, bahkan sebenarnya dia tidak perlu menawarkan diri untuk mengantar bagaimanapun. Kami sama sekali tidak saling kenal, tidak pernah bertemu dimanapun sebelumnya.
Bayangkan kalau banyak orang bisa sebegitu ramah dan baik hatinya. Melakukan hal baik begitu saja, tanpa pamrih. Alangkah nyaman rasanya mengetahui masih ada orang baik di dunia ini.
Apapun, pokoknya pagi itu, pagi Jumat tanggal 1 Oktober 2010 merupakan salah satu pagi terbaik dalam hidupku. Semoga masih banyak Tina-Tina lain di dunia ini. Semoga selalu yang terbaik bagi Tina, kenalan baruku, dimanapun dia sedang berada.
Kamis, 07 Oktober 2010
Rabu, 03 Juni 2009
Jadi Kaya dengan Cara Konyol
Lama tak mengutak-atik blog karena sakit, rasanya kangen juga. Tapi kira-kira yang mau ditulis apa ya. Selama "bertapa" buaanyak ide berseliweran dengan liarnya di kepala, tapi pas mau dikeluarin...eealaa...gerombolan ide berlarian kucar kacir. Dari pada bengong berkepanjangan, kucoba tulis tentang yang satu ini.
Beberapa minggu lalu, adikku di Kendari - Sulawesi Tenggara mengirim sms mengabarkan sedang banyak keluarga dari Raha (kota di pulau Muna, salah satu kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara) yang menginap di rumahnya, tapi tidak bercerita lebih lanjut dalam rangka apa mereka rame-rame menginap di rumahnya yang imut-imut. Kami mengira mungkin sedang selamatan masuk rumah baru, karena seminggu sebelumnya adikku yang baru mengambil rumah mungil BTN itu cerita bahwa mereka sedang siap-siap mau menempati rumah tersebut. Kalau acara sudah selesai pasti bakal cerita versi lengkapnya.
Keesokan malamnya, datanglah berita menghebohkan itu. Para tante dan sepupu dari kampung, datang ke Kendari untuk berdemo di polda, menuntut kembali uang mereka yang dibawa kabur. Dan mereka hanyalah segelintir dari ribuan korban dari penipu berkedok bank asing. Cccckkk...ada apa lagi ini...
Beberapa bulan lalu di kota kecil kami Raha, yang hanyalah salah satu kabupaten kecil di kepulauan Sulawesi Tenggara, berdiri cabang baru salah satu bank international - Bank of Swiss - katanya. Tawaran investasinya menggiurkan, 25% per bulan untuk setiap dana yang disetorkan. Bisa diduga, berbondong-bongong orang, yang kebanyakan pegawai negeri sipil pula, menyetorkan uang dengan sukarela ke bank "asing" ini.
Uang tabungan, jual kebun, uang dari pinjam, pokoknya harus dapat uang untuk disetor ke bank asing yang baik hati ini. Peluang bagus pantang dilewatkan dong. Ada yang bela-belain kredit di BRI sebesar 5 juta rupiah, langsung disetor ke bank swiss itu, ceritanya kepingin juga karena sudah terbukti adiknya mendapatkan banyak hasil.
Ada yang awalnya gak percaya jadi coba-coba dulu, menyetor 10 juta. Eeehhh..bener lho, sebulan kemudian dapat hasil 2,5 juta. Weeehh...mantap nih. Tanpa pikir panjang, semua tabungan sebesar 65 juta disetor, dengan harapan sebulan kemudian balik dengan tambahan 16 juta. Sebulan kemudian banknya lenyap ditelan bumi...
Menangis darah...menangis bombay ribuan korban yang uangnya telah tersimpan dengan aman, begitu amannya sehingga tak akan bisa lagi diambil. Menangisi hasil jerih payah bertahun-tahun yang lenyap begitu saja, menangisi uang sekolah anak yang harus segera dicari lagi, menangisi rumah yang tidak jadi dibangun, menangisi hutang yang harus dibayar entah dengan cara bagaimana...
Bayangkan, berapa milyar yang berhasil diboyong para penipu berkedok bank asing itu, dari ribuan orang (belum diketahui pasti jumlah yang jadi korbannya) yang dikali semisal aja 5 juta per orang. Iiiihhhh.....
Apa kira-kira yang ada di pikiran mereka ya, mau begitu saja menyerahkan dana puluhan juta kepada bank yang baru beberapa bulan beroperasi di pulau kecil itu? Karena "judul" asingnya? Karena tawaran hasil yang menggiurkan? Karena apa? Sungguh miris ya...
Begitu sulitnya mereka diajak menabung di bank konvensional macam BRI yang tersebar hingga pelosok, tapi begitu mudah mereka menyerahkan dana sebegitu besar pada bank yang baru beberapa minggu beroperasi. Kenapa kog tidak merasa heran ada bank asing bikin cabang sampai di pelosok daerah, lalu cari informasi keg, baru memutuskan untuk ikutan atau tidak. Kenapa tidak bercermin pada begitu banyak kasus penipuan yang makin merajalela dengan berbagai wujud, bisa dibaca di koran, ada di berita televisi dan radio.
Kenapa kenapa ini bikin kepalaku makin nyut-nyutan.
Namun kukira yang paling mendominasi tindakan-tindakan impulsif seperti ini adalah keinginan untuk menjadi kaya dengan cara instan, kaya lewat jalan tol. Tapi, jika hidup di lingkungan dimana yang berharta lebih dihargai, dipandang dan lebih didengar bicaranya. Jika hidup dimana kesuksesan diukur dengan rumah yang megah, mobil yang terparkir di depan rumah, anak-anak yang sekolah di luar pulau atau luar negeri. Jika jumlah perhiasan dan pakaian bermerek yang jadi ukuran untuk diterima dalam pergaulan. Siapa yang patut dipersalahkan???
Beberapa minggu lalu, adikku di Kendari - Sulawesi Tenggara mengirim sms mengabarkan sedang banyak keluarga dari Raha (kota di pulau Muna, salah satu kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara) yang menginap di rumahnya, tapi tidak bercerita lebih lanjut dalam rangka apa mereka rame-rame menginap di rumahnya yang imut-imut. Kami mengira mungkin sedang selamatan masuk rumah baru, karena seminggu sebelumnya adikku yang baru mengambil rumah mungil BTN itu cerita bahwa mereka sedang siap-siap mau menempati rumah tersebut. Kalau acara sudah selesai pasti bakal cerita versi lengkapnya.
Keesokan malamnya, datanglah berita menghebohkan itu. Para tante dan sepupu dari kampung, datang ke Kendari untuk berdemo di polda, menuntut kembali uang mereka yang dibawa kabur. Dan mereka hanyalah segelintir dari ribuan korban dari penipu berkedok bank asing. Cccckkk...ada apa lagi ini...
Beberapa bulan lalu di kota kecil kami Raha, yang hanyalah salah satu kabupaten kecil di kepulauan Sulawesi Tenggara, berdiri cabang baru salah satu bank international - Bank of Swiss - katanya. Tawaran investasinya menggiurkan, 25% per bulan untuk setiap dana yang disetorkan. Bisa diduga, berbondong-bongong orang, yang kebanyakan pegawai negeri sipil pula, menyetorkan uang dengan sukarela ke bank "asing" ini.
Uang tabungan, jual kebun, uang dari pinjam, pokoknya harus dapat uang untuk disetor ke bank asing yang baik hati ini. Peluang bagus pantang dilewatkan dong. Ada yang bela-belain kredit di BRI sebesar 5 juta rupiah, langsung disetor ke bank swiss itu, ceritanya kepingin juga karena sudah terbukti adiknya mendapatkan banyak hasil.
Ada yang awalnya gak percaya jadi coba-coba dulu, menyetor 10 juta. Eeehhh..bener lho, sebulan kemudian dapat hasil 2,5 juta. Weeehh...mantap nih. Tanpa pikir panjang, semua tabungan sebesar 65 juta disetor, dengan harapan sebulan kemudian balik dengan tambahan 16 juta. Sebulan kemudian banknya lenyap ditelan bumi...
Menangis darah...menangis bombay ribuan korban yang uangnya telah tersimpan dengan aman, begitu amannya sehingga tak akan bisa lagi diambil. Menangisi hasil jerih payah bertahun-tahun yang lenyap begitu saja, menangisi uang sekolah anak yang harus segera dicari lagi, menangisi rumah yang tidak jadi dibangun, menangisi hutang yang harus dibayar entah dengan cara bagaimana...
Bayangkan, berapa milyar yang berhasil diboyong para penipu berkedok bank asing itu, dari ribuan orang (belum diketahui pasti jumlah yang jadi korbannya) yang dikali semisal aja 5 juta per orang. Iiiihhhh.....
Apa kira-kira yang ada di pikiran mereka ya, mau begitu saja menyerahkan dana puluhan juta kepada bank yang baru beberapa bulan beroperasi di pulau kecil itu? Karena "judul" asingnya? Karena tawaran hasil yang menggiurkan? Karena apa? Sungguh miris ya...
Begitu sulitnya mereka diajak menabung di bank konvensional macam BRI yang tersebar hingga pelosok, tapi begitu mudah mereka menyerahkan dana sebegitu besar pada bank yang baru beberapa minggu beroperasi. Kenapa kog tidak merasa heran ada bank asing bikin cabang sampai di pelosok daerah, lalu cari informasi keg, baru memutuskan untuk ikutan atau tidak. Kenapa tidak bercermin pada begitu banyak kasus penipuan yang makin merajalela dengan berbagai wujud, bisa dibaca di koran, ada di berita televisi dan radio.
Kenapa kenapa ini bikin kepalaku makin nyut-nyutan.
Namun kukira yang paling mendominasi tindakan-tindakan impulsif seperti ini adalah keinginan untuk menjadi kaya dengan cara instan, kaya lewat jalan tol. Tapi, jika hidup di lingkungan dimana yang berharta lebih dihargai, dipandang dan lebih didengar bicaranya. Jika hidup dimana kesuksesan diukur dengan rumah yang megah, mobil yang terparkir di depan rumah, anak-anak yang sekolah di luar pulau atau luar negeri. Jika jumlah perhiasan dan pakaian bermerek yang jadi ukuran untuk diterima dalam pergaulan. Siapa yang patut dipersalahkan???
Selasa, 12 Mei 2009
Balance Sheet = Lembar Keseimbangan?
Sungguh ini pengalaman paling norak dalam hidupku.
Bertahun-tahun yang lalu saat kelas 2 SMA, tetangga sebelah kost - bang Herman, mahasiswa ekonomi - meminta tolong aku menerjemahkan beberapa lembar teks materi ekonomi berbahasa Inggris, tugas dari dosen katanya. Setengah mati aku berusaha menolaknya. Tapi dia bilang dicoba saja, karena katanya aku "pintar" bahasa Inggris. Pintar dari hongkong. Aku memang lumayan dalam mata pelajaran bahasa inggris tapi tidak harus pintar menerjemah kan.
Sebenarnya, kalau sekedar menerjemah kecil-kecilan, sebaris dua baris, dari SMP juga aku bisa. Otodidak tentunya. Gabungan antara ilmu grammar dari sekolah dan ilmu nekat, trial and error...hehee. Salut berat pada almarhum orang tuaku yang peduli sekali sama pendidikan anak-anaknya, sampe bela-belain berlangganan majalah berbahasa inggris "hello." Majalahnya tipis aja, kalau dulu bisa dibeli di kantor pos dan terbitnya sebulan sekali.
Padahal kalo diingat-ingat, jauhnya itu kantor pos dari base-camp tempat kami tinggal. Iya, saat SMP sekitar tahun 80an, kami tinggal di Kutacane, kota kecil di ujung tenggara Aceh. Masih bisa dihitung dengan jari penduduk disana kala itu. Kami tinggal di base-camp proyek, terpencil dan jauh sekali dari kota.
Nah, artikel-artikel di majalah hello itu yang kujadikan salah satu korban kenekatanku menerjemah bebas. Korban lainnya, film-film berbahasa inggris di TVRI. Kalau menerjemah bebas - artikel yang ringan-ringan, siapa takut, tapi kalau menerjemah artikel resmi, eiitt...lain lagi perkaranya. Langsung keringat dingin aku, yang terbayang diotakku, kalau teks kuliah apalagi tentang ekonomi dan akuntansi pastilah sulit sekali, gawat ini! Gimana kalau salah, gimana kalau diketawain, kan kasian itu abang. Waktu kuungkapkan kekhawatiranku itu, dia cuma bilang, "Aaah cuek aja Lin, kutanggung lah resikonya, yang penting kau terjemahkan ini. Abang nyerahlah kalau urusannya bahasa inggris."
Jadilah kucoba menerjemahkan teks itu, dengan modal kamus abal-abal dari bang Herman. Ini pertama kali aku mencoba menerjemah lagi, karena sejak SMA dan pindah sekolah ke Banda Aceh, kegiatan ini dengan sendirinya berhenti karena PR seabreg-abreg dan harus mengejar ketinggalan pelajaran.
Ahaaa...tak terlalu sulit menerjemahkan teks ekonomi akuntasi itu, tentang laporan keuangan. Malah lebih mudah karena artikel ekonomi banyak pengulangan kata dan istilah. Ada beberapa kata yang aku sulit terjemahkan seperti Balance Sheet, Loss & Profit dan Retained Earning. Tapi bereslah sudah. Bang Herman senang PRnya selesai, aku senang karena bisa menerjemah artikel "sulit."
Pagi terjemahan diambil, sorenya bang Herman lompat dari pagar rumahnya di sebelah sambil bermuka masam. Kami yang sedang ngobrol di teras, terutama aku, merasa sepertinya ada yang gak beres nih. Bener aja. Bang Herman langsung nyerocos. "Lin, kenapa pula kau terjemahkan semua istilah-istilah dalam teks ini. Malu aku diketawain ama dosen waktu kubacakan tadi."
"Waduuuh...salah-salah ya bang terjemahannya?" tanyaku takut, dan malu tentunya, kebayang semalam sudah merasa bangga karena menganggapnya mudah dan bisa selesai dengan cepat.
"Tak ada yang salah, kecuali 'Balance Sheet' kenapa pula lah kauterjemahkan jadi 'Lembar Keseimbangan'?" Kata bang Herman. "Karena kubilang itu terjemahanku, dosenku bilang kenapa tak sekalian saja diterjemahkan jadi 'Lembar Timbangan'?" lanjutnya.
Hahahahaa....malu-maluin gak seeechh.....
Tapi, betapa noraknya pengalaman ini, baru terasa satu setengah tahun kemudian, saat aku menerima kuliah pertamaku "Pengantar Akutansi" di semester pertama setelah diterima di fakultas ekonomi, fakultas yang sama dengan bang Herman dan kebetulan pengajar yang sama. Betul-betul kacau..., setengah mati aku harus selalu menahan tawa setiap kali kata balance sheet disebutkan.....
Kamus akuntansi:
Balance Sheet = Neraca
Loss and Profit = Laporan Rugi Laba
Retained Earning = Laporan Laba Ditahan
Sebenarnya, kalau sekedar menerjemah kecil-kecilan, sebaris dua baris, dari SMP juga aku bisa. Otodidak tentunya. Gabungan antara ilmu grammar dari sekolah dan ilmu nekat, trial and error...hehee. Salut berat pada almarhum orang tuaku yang peduli sekali sama pendidikan anak-anaknya, sampe bela-belain berlangganan majalah berbahasa inggris "hello." Majalahnya tipis aja, kalau dulu bisa dibeli di kantor pos dan terbitnya sebulan sekali.
Padahal kalo diingat-ingat, jauhnya itu kantor pos dari base-camp tempat kami tinggal. Iya, saat SMP sekitar tahun 80an, kami tinggal di Kutacane, kota kecil di ujung tenggara Aceh. Masih bisa dihitung dengan jari penduduk disana kala itu. Kami tinggal di base-camp proyek, terpencil dan jauh sekali dari kota.
Nah, artikel-artikel di majalah hello itu yang kujadikan salah satu korban kenekatanku menerjemah bebas. Korban lainnya, film-film berbahasa inggris di TVRI. Kalau menerjemah bebas - artikel yang ringan-ringan, siapa takut, tapi kalau menerjemah artikel resmi, eiitt...lain lagi perkaranya. Langsung keringat dingin aku, yang terbayang diotakku, kalau teks kuliah apalagi tentang ekonomi dan akuntansi pastilah sulit sekali, gawat ini! Gimana kalau salah, gimana kalau diketawain, kan kasian itu abang. Waktu kuungkapkan kekhawatiranku itu, dia cuma bilang, "Aaah cuek aja Lin, kutanggung lah resikonya, yang penting kau terjemahkan ini. Abang nyerahlah kalau urusannya bahasa inggris."
Jadilah kucoba menerjemahkan teks itu, dengan modal kamus abal-abal dari bang Herman. Ini pertama kali aku mencoba menerjemah lagi, karena sejak SMA dan pindah sekolah ke Banda Aceh, kegiatan ini dengan sendirinya berhenti karena PR seabreg-abreg dan harus mengejar ketinggalan pelajaran.
Ahaaa...tak terlalu sulit menerjemahkan teks ekonomi akuntasi itu, tentang laporan keuangan. Malah lebih mudah karena artikel ekonomi banyak pengulangan kata dan istilah. Ada beberapa kata yang aku sulit terjemahkan seperti Balance Sheet, Loss & Profit dan Retained Earning. Tapi bereslah sudah. Bang Herman senang PRnya selesai, aku senang karena bisa menerjemah artikel "sulit."
Pagi terjemahan diambil, sorenya bang Herman lompat dari pagar rumahnya di sebelah sambil bermuka masam. Kami yang sedang ngobrol di teras, terutama aku, merasa sepertinya ada yang gak beres nih. Bener aja. Bang Herman langsung nyerocos. "Lin, kenapa pula kau terjemahkan semua istilah-istilah dalam teks ini. Malu aku diketawain ama dosen waktu kubacakan tadi."
"Waduuuh...salah-salah ya bang terjemahannya?" tanyaku takut, dan malu tentunya, kebayang semalam sudah merasa bangga karena menganggapnya mudah dan bisa selesai dengan cepat.
"Tak ada yang salah, kecuali 'Balance Sheet' kenapa pula lah kauterjemahkan jadi 'Lembar Keseimbangan'?" Kata bang Herman. "Karena kubilang itu terjemahanku, dosenku bilang kenapa tak sekalian saja diterjemahkan jadi 'Lembar Timbangan'?" lanjutnya.
Hahahahaa....malu-maluin gak seeechh.....
Tapi, betapa noraknya pengalaman ini, baru terasa satu setengah tahun kemudian, saat aku menerima kuliah pertamaku "Pengantar Akutansi" di semester pertama setelah diterima di fakultas ekonomi, fakultas yang sama dengan bang Herman dan kebetulan pengajar yang sama. Betul-betul kacau..., setengah mati aku harus selalu menahan tawa setiap kali kata balance sheet disebutkan.....
Kamus akuntansi:
Balance Sheet = Neraca
Loss and Profit = Laporan Rugi Laba
Retained Earning = Laporan Laba Ditahan
Langganan:
Postingan (Atom)