Selasa, 14 April 2009

Emak - sang bakul pecel

Di Ruko blok F lama, masih dalam kawasan pasar grosir tanah abang, persisnya di belakang mesjid blok F lama dekat lorong menuju toilet...hehehee, adalah seorang bakul pecel. Usianya diatas 40 tahun. Para pelanggan memanggilnya "emak." Ia duduk di bangku kecil dikelilingi makanan dagangannya. Selain aneka sayuran rebus khas pecel, lontong dan nasi, ia juga menyediakan bakmi goreng, tahu, tempe dan bakwan goreng, aneka rempeyek dan aneka lado. Telor ceplok, terong, kentang, krecek (kulit), ikan tongkol, semua serba dimasak sambel balado. Warnanya serba merah membara, orang padang bilang bikin "tarbit salero". Piring dan sendoknya plastik, dialasi daun. Abis makan, daun dan sendok dibuang. Kalau ada yang mau makan, tinggal dialasi daun lagi. Gak perlu cuci piring, praktis! Yang mau minum tinggal ambil di kotak pendingin yang disediakan, bayarnya nanti sekalian ama makanan.

Hampir semua yang pernah melewati areal itu pasti mengetahuinya, terutama para karyawan toko-toko di sekitar situ. Setiap hari emak mulai jualan pukul 11.00 hingga pukul 19.00, tapi tak jarang belum pukul 17.00 sudah habis bis bis dagangannya. Kalau mampir kesitu pas jam makan siang sekitar pukul 12.00 - 14.00an jangan harap bisa dapat layanan cepat. Yang beli berjubeel! Antrinya bo...beda-beda tipis ama pasar obral, saling teriak semua minta dilayani duluan. Kalau sudah jadi langganan diperbolehkan memilih dan memotong-motong sendiri dengan gunting lontong dan gorengannya, lalu dengan sabar mencondongkan piring berisi potongan-potongan makanan itu ke arah emak, menunggu emak memberi sayuran dan menyiramnya dengan bumbu pecel. Sambil tangan sibuk melayani para pelanggan yang mengerumuninya, sesekali terdengar teriakan emak dengan logat jawanya yang kental, "sabaarr...saabarrr toh lee...."

Aku lebih senang makan disitu di sore hari, saat pembeli tinggal satu-satu. Biar bisa sambil ngobrol sama emak. Itu saya lakukan akibat rasa penasaran setelah beberapa kali melihat kerumunan kalau kebetulan sedang melintas disitu. Masih banyak juga yang mampir di sore hari, biasanya para pedagang, mampir membeli lauk matang supaya tidak perlu lagi repot memasak di rumah nanti setelah seharian mencari uang di pasar atau sebagai selingan menu...entahlah.

Setelah mampir untuk kedua kalinya, emak baru mau mulai bercerita tentang kehidupannya. Emak memiliki 9 anak...wooww... Beliau menolak bercerita tentang suaminya. Yang jelas setiap hari emak harus bekerja keras membanting tulang sebagai bakul pecel untuk memberi makan ke-17 nyawa, anak-anak dan cucu-cucunya, yang masih tinggal bersamanya...bukan main!

Namun yang membuatku heran, sebegitu besar omset yang diperoleh emak, rata-rata 400-500 ribu per hari kadang lebih. Coba saja kita hitung, selama 1 jam saya nongkrong ada 10 an orang yang makan disitu masing-masing minimal rp 4.000,-, jadi semasa sepi begitu dalam satu jam emak mendapat minimal rp 40.000,-. Bisa dibayangkan berapa kira-kira yang ia peroleh selama 2 jam saat makan siang yang ramai. Toh tetap saja emak mengeluh kekurangan. Ada apa ini?

Ternyata belakangan ini makin banyak karyawan toko yang "kasbon" alias makan dulu bayar nyusul. Jumlahnya lumayan memberatkan untuk ukuran pedagang bakulan, rata-rata rp 50.000,- - rp 150.000,- per orang. Berawal dari rasa tak tega emak terhadap para karyawan, yang mengingatkannya pada anak cucunya, berakhir dengan kewalahan sendiri dan mati akal. Pasalnya, setelah tagihan mencapai rp 100.000,- sang karyawan "nakal" menghilang tiba-tiba. Bukan karena dipecat atau dapat job baru, tapi kebanyakan karena dapat tempat makan baru, tempat hutangan baru, meninggalkan emak yang hanya bisa mengelus dada dan ngomel-ngomel..., sambil berharap suatu hari anak-anak itu membayar hutangnya, meskipun dengan cara menyicilnya.




0 komentar:

Posting Komentar