Senin, 27 April 2009

Euforia produk impor

Beberapa hari yang lalu ada stasiun televisi swasta menyiarkan tentang salah satu mall terkenal di jakarta yang kebanjiran pengunjung karena mall tersebut sedang memberi diskon hingga 75% pada produk sepatu impor dari negara cina, korea dan bosnia. Dari harga yang dibandrol sekitar 400-an ribu rupiah, dengan diskon 75%, harganya menjadi 100-an ribu rupiah.

Bukan main..., sangat luar biasa antusiasme para pengunjung. Menurut laporan reporter televisi tersebut, meskipun untuk mendapatkan barang tersebut calon pembeli harus rela antri rata-rata 4 jam, tetap saja antreannya jika diukur mencapai sekitar 2 km panjangnya. Tidak sedikit dari mereka yang memborong 4-5 pasang sepatu tersebut. Saat diwawancarai sang pembeli beralasan, "kapan lagi dapat diskon gede seperti ini, sepatu impor lho..."

Yang menarik label impornya atau diskon gila-gilaannya?

Fenomena yang sama terjadi di pasar tanah abang, pusat grosir terbesar di tanah air bahkan konon di asia pasifik, beberapa bulan lalu, saat awal-awal blouse kotak-kotak wanita yang diimpor dari cina atau korea menyerbu pasar ini. Luar biasa animo masyarakat! Mengherankan. Modelnya memang menarik tapi bahannya tipis sekali dan sekali dicuci langsung buluk. Meski ditawarkan dengan harga 75 - 125 ribu per potong, tetap saja laris manis bak kacang goreng. Para pedagangnya bisa menangguk omset puluhan juta per hari! Tergiur keuntungan sangat lumayan itu, akhirnya hampir setiap kios penjual baju wanita menjual juga baju sejenis.

Label imporkah yang jadi magnet?

Anehnya dalam hal perlengkapan beribadah, khususnya sarung dan mukena (atau ruku' atau telekung) hingga saat ini masyarakat Indonesia masih tetap mengandalkan buatan bangsanya sendiri, made-in dewe. Tasikmalaya dan Padang masih jadi idola dengan bordir andalannya. Syukurlah. Entah karena dalam hal ibadah bangsa kita lebih suka akan produk bangsanya ataukah karena bangsa lain belum membuatnya?

Hati suka miris saat sebagai pedagang kita menawarkan barang yang persis sama tapi dengan pilihan "impor" atau "buatan sini" dan pembeli jauh lebih antusis membeli yang "impor," meskipun "buatan sini" tak kalah bagus dalam hal model dan mutu.

Kapan ya bangsa ini bisa bangga akan buatan anak negerinya sendiri? Tahukah bahwa sebagian orang di luar negeri sana, dengan bangga menggunakan merk made-in Indonesia? Bahkan di Amerika sana ada yang rela mengeluarkan kocek 6 juta rupiah hanya untuk selembar baju karya anak bangsa ini? Tahukah bahwa ada produk-produk yang dibuat di Indonesia, yang setelah dikirim keluar negeri dan diberi label merk "made-in luar negeri," dikembalikan dan dijual mahal di Indonesia?



0 komentar:

Posting Komentar